Menitpost.com, JAKARTA – Resmi pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai kemarin Sabtu (3/9/22). Kenaikan harga itu diyakini bakal berdampak negatif dalam jangka pendek ke pasar modal.
Namun, kebijakan kenaikan harga BBM subsidi tersebut positif dalam jangka panjang seiring risiko anggaran menjadi lebih rendah.
Riset diadakan PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk, langkah pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi dan menyesuaikan harga BBM non-subsidi untuk mengelola anggaran pengeluaran 2022 dan memastikan risiko lebih rendah pada anggaran 2023.
Adanya lokasi BBM bersubsidi sudah mencapai 70 persen pada Juli 2022, sebagian besar seiring pemulihan mobilitas sejak 2022.
Namun, kenaikan harga BBM subsidi tersebut memunculkan kekhawatiran kenaikan inflasi dan daya beli masyarakat. Namun, Ashmore menilai masalah daya beli akan didukung oleh rencana bantuan langsung tunai pemerintah.
“Secara keseluruhan ini kemungkinan berdampak secara negatif ke pasar dalam waktu dekat tetapi positif dalam jangka panjang karena risiko anggaran jelas lebih rendah,” tulis Ashmore dikutip pada Minggu (4/9/22).
Kenaikan harga BBM subsidi akan dorong inflasi di atas 5 persen pada 2022 dan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) melambat dari saat ini 5,2 persen.
Bagaimana dampaknya terhadap pasar?
Dengan tekanan inflasi kemungkinan berdampak negatif dalam jangka pendek. Sedangkan ke saham, jika melihat masa lalu, kenaikan harga bahan bakar tekan IHSG tetapi jangka pendek kecuali pada 2008 dan taper tantrum 2013.
“Dalam jangka panjang pengurangan BBM bersubsidi akan tekan defisit anggaran dan potensi hambatan dari pertumbuhan yang melambat,” lanjutnya.
Ashmore melihat sektor bank akan menjaga indeks saham. Hal ini seiring kenaikan suku bunga jadi sentimen positif.
“Kami mempertahankan untuk investasi selama volatilitas dan koreksi terutama ke saham,” tulisnya lagi. (Red)